Banyak cara dilakukan Umat Islam untuk merayakan Maulid
Nabi. Mulai dari acara yang paling sederhana sampai yang paling mewah. Untuk
mengetahui apa hakikat Maulid dan bagaimana seharusnya Maulid itu dilaksanakan,
kru Majalah Khidmah mewawancarai Habib Ja’far Shadiq, Pengurus PCNU Sumenep.
Menurut
Habib, apa sebenarnya substansi perayaan Maulid?
Sebetulnya
substansi Maulid itu banyak. Hanya, mengingat Maulid ini identik dengan
seremoni yang berpuncak pada acara ceramah, maka substansi
paling pokok adalah meneguhkan hati (tatsbit al-fu’ad). Ini sesuai
dengan firman Allah Swt., “Dan semua kisah dari rasul-rasul
Kami ceritakan kepadamu adalah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu (mâ nutsabbitu bihî fuâdak). Yakni, meneguhkan hati umat terhadap
agama, baik menyangkut akidah, syariah, maupun akhlak.
Kenapa tatsbit al-fu’ad yang menjadi titik tekan?
Karena, untuk meluruskan dan memantapkan hati kepada Allah
bukan perkara gampang. Dan, musuh kita—baik berupa setan, jin, maupun
manusia—merasa tidak nyaman ketika hati kita sudah lurus dan mantap kepada
Allah. Sejatinya, esensi dari setiap acara (bukan hanya acara Maulid) mengacu
kepada substansi itu.
Kenapa harus Nabi yang paling tepat dijadikan media untuk tatsbit al-fu’ad?
Ya,
karena Nabi adalah blue print (cetak biru)
dari alam semesta ini. Dengan segala tabiat dan akhlaknya yang
sempurna, beliau adalah media yang luar biasa. Media bukan sembarang media. Karena
itu, tidak sembarang orang juga yang mampu memanfaatkan media ini secara
maksimal. Sosok yang luar biasa hanya bisa ditangkap oleh mereka yang luar
biasa juga.
Bisa
digambarkan kondisi fu’ad al-ummah saat ini?
Berbicara
hati dan ruhani umat berarti berbicara hati kita. Dan, sebenarnya umat kita adalah
ummah marhûmah, umat yang lembut. Kalau saat ini kita lihat mereka
menjadi liar dan beringas, keluar dari kerangka (frame) berpikir
atau mindset yang semestinya, itu bukan kesalahan mereka. Itu kesalahan
kita, karena kita—selaku pemimpin—tidak memberi uswah atau
teladan
yang baik kepada mereka. Kata Imam Ghazali, jika pemimpinnya lurus, umat pasti
ikut. Bagaimana bayangan akan lurus kalau batangnya bengkok?
Terus,
apa yang harus kita lakukan?
Menurut
saya, apa yang harus digarap pada hati umat saat ini adalah tazkiyah an-nafs, yaitu menyucikan
hati dan menjernihkan ruhani. Allah berfirman, “Dia-lah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah.” Kalau hati sudah bersih,
hidup akan terasa ringan dan nyaman. Selagi hati umat ini belum bersih,
transformasi ilmu dan hikmah tidak akan terjadi. Dan untuk ini mereka harus
diberi contoh teladan.
Esensi lain terkait dengan upaya menghidupkan ruhani umat
ini adalah ”menghidupkan” Nabi dalam hati kita.
Jika kita benar-benar maksimal melaksanakan ajaran Nabi, beliau benar-benar
akan ”hidup”. Bukan hanya dalam
mimpi, tapi dirasakan secara sadar (yaqzhatan wa manâman). Ini teori. Tapi tidak banyak orang
sampai ke level itu. Namun saya
tetap berpikir ini bisa kita lakukan. NU punya wadah untuk ini, yaitu Jam’iyah
Thariqah al-Mu‘tabarah. Tapi, maaf, dengan segala hormat harus saya katakan
bahwa kita kurang memberi porsi yang bagus untuk ini. Padahal, ini satu tahapan
penting yang harus dilalui dalam dakwah kita.
Tapi dalam konteks ini,
perayaan Maulid tetap esensial, kan?
Pasti.
Perayaan Maulid tetap esensial dan merupakan cara terbaik untuk saat ini.
Bayangkan, kalau tidak ada Maulid, bagaimana umat ini akan mengenal Nabi? Kalau
tidak kenal, bagaimana akan meneladani? Jadi, acara Maulid tetap penting
diadakan, meskipun dalam beberapa hal perlu diberi catatan. Misalnya, campur-baur antara
laki-laki dan perempuan. Juga perlu dikoreksi mengenai target capaiannya.
Tadi
disebutkan bahwa umat perlu keteladanan pemimpin. Kira-kira apa yang penting
diteladankan pemimpin kepada umat?
Menurut
saya ada dua, yaitu karakter kejujuran dan rasa malu kepada Allah. Malu karena
kita maksiat kepada Allah. Malu karena kita tidak bisa melihat posisi kita
sebagai manusia, lebih-lebih manusia yang menjadi teladan umat. Suatu saat,
ketika Abdullah ibn Mas‘ud diikuti seseorang, ia bilang, “Jangan ikut aku.
Tidak enak menjadi orang yang diikuti orang. Iya kalau benar, kalau salah?”
Sementara sekarang, orang malah bangga kalau pengikutnya banyak.
Apakah
dengan begitu, pemimpin kita sekarang tidak layak?
Saya
tidak mengatakan begitu. Pemimpin kita tetap layak. Layak di zaman seperti
sekarang. Dan kita sendirilah yang membuat zaman seperti ini. Sekali lagi
persoalannya adalah tazkiyah al-nafs tadi. Menyinggung soal kiat sukses
dakwah Walisongo, Habib Umar mengatakan bukâ’an fil
al-layl wa basyâsyah fi al-nahâr; menangis di waktu
malam, siangnya cukup tersenyum saja. Sekali mereka memukul gong, hati umat
langsung bergetar. Kenapa begitu? Karena malamnya mereka menangisi umat. Kalau
kita kan, tidak begitu. Kita lebih fokus pada gongnya, bukan pada
menangisnya. Ada seorang habib di Makkah berdakwah ke Afrika. Ketika salah
seorang ditanya kenapa ia masuk Islam, ia menjawab, “Karena aku suka melihat habib
itu.” Nah, pertanyaannya, sudahkah pemimpin kita menangisi diri mereka sendiri?
Terakhir,
kira-kira seperti apa format Maulid yang cocok untuk zaman kita saat ini?
Saya katakan situasional. Daerah-perdaerah bisa berbeda. Yang penting dalam
format itu ada ta‘alluq (keterhubungan) antara kita selaku pemimpin dengan umat, sehingga proses tatsbit al-fu’ad
dan tazkiyah al-nafs bisa berlangsung di sana. Bisa saja Maulid dilaksanakan
dalam bentuk, misalnya, pengajian sederhana. Kalaupun ada yang mengatakan
Maulid yang kita laksanakan itu bid’ah, yang dibid’ahkan bukan
esensinya, tetapi formatnya. Yaitu, karena pada zaman Rasulullah SAW tidak ada orang yang berkumpul untuk merayakan
kelahiran beliau. Esensinya sebetulnya adalah bagaimana kita bisa nyambung
dan berinterkasi dengan beliau. Dan, ini sebeltulnya tidak cukup dilakukan
setahun sekali. Sayyid Imam al-Maliki mengatakan, ‘Kami tidak memperingati
Maulid hanya pada malam-malam tertentu. Setiap saat kita harus berusaha untuk
terus berinteraksi dengan beliau.’ Yaitu, dengan mengerjakan syari’ah dalam
arti, meneladani perilaku beliau, dan membaca shalawat. Tapi, perlu saya
tegaskan bahwa format Maulid yang berjalan di tengah-tengah masyarakat kita
saat ini masih relevan dan apresiatif. (Asa/Zbr)