Selasa, 12 Februari 2013

Yang Penting Esensinya


Banyak cara dilakukan Umat Islam untuk merayakan Maulid Nabi. Mulai dari acara yang paling sederhana sampai yang paling mewah. Untuk mengetahui apa hakikat Maulid dan bagaimana seharusnya Maulid itu dilaksanakan, kru Majalah Khidmah mewawancarai Habib Ja’far Shadiq, Pengurus PCNU Sumenep.

Menurut Habib, apa sebenarnya substansi perayaan Maulid?
Sebetulnya substansi Maulid itu banyak. Hanya, mengingat Maulid ini identik dengan seremoni yang berpuncak pada acara ceramah, maka substansi paling pokok adalah meneguhkan hati (tatsbit al-fu’ad). Ini sesuai dengan firman Allah Swt., Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu adalah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu (mâ nutsabbitu bihî fuâdak). Yakni, meneguhkan hati umat terhadap agama, baik menyangkut akidah, syariah, maupun akhlak.  
Kenapa tatsbit al-fu’ad yang menjadi titik tekan?
Karena, untuk meluruskan dan memantapkan hati kepada Allah bukan perkara gampang. Dan, musuh kita—baik berupa setan, jin, maupun manusia—merasa tidak nyaman ketika hati kita sudah lurus dan mantap kepada Allah. Sejatinya, esensi dari setiap acara (bukan hanya acara Maulid) mengacu kepada substansi itu.
Kenapa harus Nabi yang paling tepat dijadikan media untuk tatsbit al-fu’ad?
Ya, karena Nabi adalah blue print (cetak biru) dari alam semesta ini. Dengan segala tabiat dan akhlaknya yang sempurna, beliau adalah media yang luar biasa. Media bukan sembarang media. Karena itu, tidak sembarang orang juga yang mampu memanfaatkan media ini secara maksimal. Sosok yang luar biasa hanya bisa ditangkap oleh mereka yang luar biasa juga.
Bisa digambarkan kondisi fu’ad al-ummah saat ini?
Berbicara hati dan ruhani umat berarti berbicara hati kita. Dan, sebenarnya umat kita adalah ummah marhûmah, umat yang lembut. Kalau saat ini kita lihat mereka menjadi liar dan beringas, keluar dari kerangka (frame) berpikir atau mindset yang semestinya, itu bukan kesalahan mereka. Itu kesalahan kita, karena kita—selaku pemimpin—tidak memberi uswah atau teladan yang baik kepada mereka. Kata Imam Ghazali, jika pemimpinnya lurus, umat pasti ikut. Bagaimana bayangan akan lurus kalau batangnya bengkok?
Terus, apa yang harus kita lakukan?
Menurut saya, apa yang harus digarap pada hati umat saat ini adalah tazkiyah an-nafs, yaitu menyucikan hati dan menjernihkan ruhani. Allah berfirman, Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah.” Kalau hati sudah bersih, hidup akan terasa ringan dan nyaman. Selagi hati umat ini belum bersih, transformasi ilmu dan hikmah tidak akan terjadi. Dan untuk ini mereka harus diberi contoh teladan.
Esensi lain terkait dengan upaya menghidupkan ruhani umat ini adalah menghidupkan Nabi dalam hati kita. Jika kita benar-benar maksimal melaksanakan ajaran Nabi, beliau benar-benar akan hidup. Bukan hanya dalam mimpi, tapi dirasakan secara sadar (yaqzhatan wa manâman). Ini teori. Tapi tidak banyak orang sampai ke level itu. Namun saya tetap berpikir ini bisa kita lakukan. NU punya wadah untuk ini, yaitu Jam’iyah Thariqah al-Mu‘tabarah. Tapi, maaf, dengan segala hormat harus saya katakan bahwa kita kurang memberi porsi yang bagus untuk ini. Padahal, ini satu tahapan penting yang harus dilalui dalam dakwah kita.
Tapi dalam konteks ini, perayaan Maulid tetap esensial, kan?
Pasti. Perayaan Maulid tetap esensial dan merupakan cara terbaik untuk saat ini. Bayangkan, kalau tidak ada Maulid, bagaimana umat ini akan mengenal Nabi? Kalau tidak kenal, bagaimana akan meneladani? Jadi, acara Maulid tetap penting diadakan, meskipun dalam beberapa hal perlu diberi catatan. Misalnya, campur-baur antara laki-laki dan perempuan. Juga perlu dikoreksi mengenai target capaiannya.
Tadi disebutkan bahwa umat perlu keteladanan pemimpin. Kira-kira apa yang penting diteladankan pemimpin kepada umat?
Menurut saya ada dua, yaitu karakter kejujuran dan rasa malu kepada Allah. Malu karena kita maksiat kepada Allah. Malu karena kita tidak bisa melihat posisi kita sebagai manusia, lebih-lebih manusia yang menjadi teladan umat. Suatu saat, ketika Abdullah ibn Mas‘ud diikuti seseorang, ia bilang, “Jangan ikut aku. Tidak enak menjadi orang yang diikuti orang. Iya kalau benar, kalau salah?” Sementara sekarang, orang malah bangga kalau pengikutnya banyak.
Apakah dengan begitu, pemimpin kita sekarang tidak layak?
Saya tidak mengatakan begitu. Pemimpin kita tetap layak. Layak di zaman seperti sekarang. Dan kita sendirilah yang membuat zaman seperti ini. Sekali lagi persoalannya adalah tazkiyah al-nafs tadi. Menyinggung soal kiat sukses dakwah Walisongo, Habib Umar mengatakan bukâ’an fil al-layl wa basyâsyah fi al-nahâr; menangis di waktu malam, siangnya cukup tersenyum saja. Sekali mereka memukul gong, hati umat langsung bergetar. Kenapa begitu? Karena malamnya mereka menangisi umat. Kalau kita kan, tidak begitu. Kita lebih fokus pada gongnya, bukan pada menangisnya. Ada seorang habib di Makkah berdakwah ke Afrika. Ketika salah seorang ditanya kenapa ia masuk Islam, ia menjawab, “Karena aku suka melihat habib itu.” Nah, pertanyaannya, sudahkah pemimpin kita menangisi diri mereka sendiri?
Terakhir, kira-kira seperti apa format Maulid yang cocok untuk zaman kita saat ini?
Saya katakan situasional. Daerah-perdaerah bisa berbeda. Yang penting dalam format itu ada ta‘alluq (keterhubungan) antara kita selaku pemimpin dengan umat, sehingga proses tatsbit al-fu’ad dan tazkiyah al-nafs bisa berlangsung di sana. Bisa saja Maulid dilaksanakan dalam bentuk, misalnya, pengajian sederhana. Kalaupun ada yang mengatakan Maulid yang kita laksanakan itu bid’ah, yang dibid’ahkan bukan esensinya, tetapi formatnya. Yaitu, karena pada zaman Rasulullah SAW tidak ada orang yang berkumpul untuk merayakan kelahiran beliau. Esensinya sebetulnya adalah bagaimana kita bisa nyambung dan berinterkasi dengan beliau. Dan, ini sebeltulnya tidak cukup dilakukan setahun sekali. Sayyid Imam al-Maliki mengatakan, ‘Kami tidak memperingati Maulid hanya pada malam-malam tertentu. Setiap saat kita harus berusaha untuk terus berinteraksi dengan beliau.’ Yaitu, dengan mengerjakan syari’ah dalam arti, meneladani perilaku beliau, dan membaca shalawat. Tapi, perlu saya tegaskan bahwa format Maulid yang berjalan di tengah-tengah masyarakat kita saat ini masih relevan dan apresiatif. (Asa/Zbr)