Selasa, 12 Februari 2013

Hukum Maulid Nabi



Sejak abad ke 3 Hijriyah, para ulama salafus shaleh telah terbiasa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Para pemimpin dan masyarakat awam pun ikut memeriahkannya secara turun temurun. Namun akhir-akhir ini, muncul sekelompok Islam yang menyatakan bahwa tradisi Maulid adalah bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan para shahabat. Mereka memakai dalil-dalil yang ditafsiri sendiri untuk menguatkan pendapatnya.


Isu masa lalu
Perbedaan pendapat tentang hukum Maulid sebenarnya sudah muncul sejak lama. Di antara ulama yang menentang peringatan Maulid adalah Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami (penulis al-Maurid fi al-Kalam ala al-Maulid), Ibnu Qayyim al-Jauziyah, hingga Shalih ibn al-Utsaimin di masa sekarang.
Sedangkan ulama yang mendukung Maulid jumlahnya sangat banyak, di antaranya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), Jalaluddin as-Suyuthi (849-911), Ibnu Hajar al-Haitami (909-974), Tajuddin Imam as-Subki, Imam an-Nasa’i, Abdullah ibn Ahmad, Imam al-Baihaqi, Muhammad bin Abbas, Abu Syamah al-Dimasyqi, Abul Khair ibn al-Jazari, Ibn Rajab al-Hanbali, Abu al-Khathab bin Dihyah al-Andalusi, Ibnu Jauzi, Ibnu Katsir, Abu Bakar ibn Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Ahmad bin Zaini Dahlan, hingga Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
Imam as-Syafi’i ra membagi hal-hal baru dalam agama (bid’ah) ke dalam 2 (dua) bagian: Pertama, hal baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah, atsar, atau ijma’. Ini adalah bid’ah yang sesat; Kedua, hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan satu pun di antara rujukan hukum di atas. Ini adalah inovasi yang baik dan tidak tercela. Contohnya adalah penulisan Al-Qur’an, hadits, hingga pelaksanaan shalat tarawih dan Maulid Nabi. Meskipun belum pernah ada di masa Nabi SAW, akan tetapi tidak bertentangan dengan sunnah beliau.

Dalil kebolehan Maulid
Di antara dalil yang membolehkan Maulid adalah firman Allah Swt yang artinya: “Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5). Menurut Ubay ibn Ka’b, yang dimaksud hari-hari Allah adalah nikmat-nikmat dan karunia-karuniaNya. Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah salah satu nikmat yang maha agung. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat dan karunia Allah Swt.
Dalil kedua adalah hadits yang mengisahkan peringatan Maulid yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits riwayat Imam Muslim tersebut, Rasulullah SAW ditanya tentang puasa Hari Senin yang dilakukannya. Beliau menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu aku mendapat wahyu”.
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW bersuka cita akan hari kelahirannya, walaupun kegembiraan beliau diwujudkan dengan puasa. Sedangkan kita menunjukkan kegembiraan dengan cara mengumpulkan orang-orang untuk membaca Shalawat, membaca Al-Quran, memuji beliau, berzikir, dan bersedekah. Bentuknya berbeda tapi tujuannya sama.
Dalil ketiga adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Yakni saat Nabi SAW tiba di Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa Asyura, beliau lalu menanyakan hal itu. Mereka menjawab, “Ini adalah hari di mana Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt.” Lalu Rasulullah bersabda, ”Kita (umat Islam) lebih berhak berpuasa (sebagai ungkapan rasa syukur).”
Menurut Ibnu hajar, hadits di atas menegaskan bahwa ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, seperti shalat, puasa, sedekah, membaca Al-Quran, dsb. Kelahiran Nabi Saw merupakan salah satu rahmat dan karunia yang paling pantas disyukuri.
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dalam ‘Urf Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif  menambahkan, dalam hadits shahih disebutkan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa neraka setiap malam Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah sebagai bentuk kegembiraan atas kelahiran Nabi SAW. Jika Abu Lahab yang kafir saja mendapatkan keringanan siksa karena bersuka cita atas kelahiran Nabi SAW, apalagi seorang Muslim?
Kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw karena kita mencintainya. Seluruh alam semesta saja mencintainya, apalagi kita umatnya. Ingatlah hadits tentang pohon karma yang menyayangi dan mencintai Nabi Saw serta rindu untuk selalu dekat dengannya.

Media Dakwah
Selain sebagai ungkapan syukur, tradisi Maulid juga merupakan sarana dakwah, terutama di era millenium ini, di mana Kaum Muslimin berada di bawah hegemoni Barat. Perayaan Maulid dapat dijadikan sarana mengembalikan kejayaan Islam. Acara Maulid Nabi Saw bisa menjadi momen show of force (unjuk kekuatan) dan pengobar heroisme kaum Muslimin, layaknya Salahuddin Al-Ayyubi yang berhasil membangkitkan semangat Umat Islam guna mengusir tentara Salib dari Yerussalem.
Namun demikian, prosesi acara Maulid tidak perlu dilakukan secara berlebihan, termasuk saat memuji beliau. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda: Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah (aku) sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai manusia, jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, karena sesungguhnya sikap berlebihan telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya.) (Sipe)