Sejak abad ke 3 Hijriyah, para ulama salafus shaleh telah terbiasa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Para pemimpin dan masyarakat awam pun ikut memeriahkannya secara turun temurun.
Namun akhir-akhir ini, muncul sekelompok Islam yang menyatakan bahwa tradisi
Maulid adalah bid’ah karena tidak
pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan para shahabat. Mereka memakai dalil-dalil
yang ditafsiri sendiri untuk menguatkan pendapatnya.
Isu masa lalu
Perbedaan pendapat tentang hukum Maulid sebenarnya
sudah muncul sejak lama. Di antara ulama yang menentang peringatan Maulid
adalah Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami (penulis al-Maurid fi al-Kalam ala al-Maulid), Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
hingga Shalih ibn al-Utsaimin di masa sekarang.
Sedangkan ulama yang mendukung Maulid jumlahnya sangat banyak, di
antaranya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), Jalaluddin as-Suyuthi
(849-911), Ibnu Hajar al-Haitami (909-974), Tajuddin Imam as-Subki, Imam
an-Nasa’i, Abdullah ibn Ahmad, Imam al-Baihaqi, Muhammad bin Abbas, Abu Syamah
al-Dimasyqi, Abul Khair ibn al-Jazari, Ibn Rajab al-Hanbali, Abu al-Khathab bin
Dihyah al-Andalusi, Ibnu Jauzi, Ibnu Katsir, Abu Bakar ibn Sayyid Muhammad
Syatha ad-Dimyathi, Ahmad bin Zaini Dahlan, hingga Sayyid Muhammad bin Alawi
al-Maliki.
Imam as-Syafi’i ra membagi hal-hal baru dalam agama (bid’ah) ke dalam 2 (dua) bagian: Pertama, hal baru yang
bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah, atsar,
atau ijma’. Ini adalah bid’ah yang
sesat; Kedua, hal baru yang baik dan
tidak bertentangan dengan satu pun di
antara rujukan hukum di atas. Ini adalah inovasi yang
baik dan tidak tercela. Contohnya
adalah penulisan Al-Qur’an, hadits, hingga pelaksanaan
shalat tarawih dan Maulid Nabi. Meskipun belum pernah ada di masa Nabi SAW, akan
tetapi tidak bertentangan dengan sunnah beliau.
Dalil kebolehan
Maulid
Di antara dalil yang membolehkan Maulid adalah firman
Allah Swt yang artinya: “Dan ingatkanlah
mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5). Menurut Ubay ibn Ka’b,
yang dimaksud hari-hari Allah adalah nikmat-nikmat dan karunia-karuniaNya.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah salah satu nikmat yang maha agung. Sedangkan
syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat dan
karunia Allah Swt.
Dalil kedua adalah hadits
yang mengisahkan peringatan Maulid yang dilakukan
sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits riwayat Imam Muslim tersebut, Rasulullah SAW ditanya tentang puasa
Hari Senin yang dilakukannya. Beliau menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan
dan pada hari itu aku mendapat wahyu”.
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi
SAW bersuka cita akan hari kelahirannya, walaupun kegembiraan beliau diwujudkan
dengan puasa. Sedangkan kita menunjukkan kegembiraan dengan cara mengumpulkan
orang-orang untuk membaca Shalawat, membaca Al-Quran, memuji beliau, berzikir,
dan bersedekah. Bentuknya berbeda tapi tujuannya sama.
Dalil ketiga adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Yakni saat Nabi SAW tiba di Madinah dan menemukan
orang-orang Yahudi sedang berpuasa Asyura, beliau lalu menanyakan hal itu.
Mereka menjawab, “Ini adalah hari di
mana Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh
Allah. Maka kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt.” Lalu
Rasulullah bersabda, ”Kita (umat Islam) lebih berhak berpuasa (sebagai ungkapan
rasa syukur).”
Menurut Ibnu hajar, hadits di atas menegaskan bahwa
ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt dapat dilakukan dengan berbagai bentuk,
seperti shalat, puasa, sedekah, membaca Al-Quran, dsb. Kelahiran Nabi Saw
merupakan salah satu rahmat dan karunia yang paling pantas disyukuri.
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi
dalam ‘Urf Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif
menambahkan, dalam hadits shahih disebutkan bahwa Abu Lahab mendapatkan
keringanan siksa neraka setiap malam Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah
sebagai bentuk kegembiraan atas kelahiran Nabi SAW. Jika Abu Lahab yang kafir saja mendapatkan
keringanan siksa karena bersuka cita atas kelahiran Nabi SAW, apalagi seorang
Muslim?
Kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw karena kita mencintainya.
Seluruh alam
semesta saja mencintainya, apalagi kita umatnya. Ingatlah
hadits tentang pohon karma yang menyayangi dan mencintai Nabi Saw serta rindu untuk selalu dekat
dengannya.
Media Dakwah
Selain sebagai ungkapan syukur, tradisi Maulid juga
merupakan sarana dakwah, terutama di era millenium ini, di mana Kaum Muslimin berada di bawah hegemoni
Barat. Perayaan
Maulid dapat dijadikan sarana mengembalikan kejayaan Islam. Acara Maulid Nabi Saw
bisa menjadi momen show of force
(unjuk kekuatan) dan pengobar heroisme kaum Muslimin, layaknya Salahuddin
Al-Ayyubi yang berhasil membangkitkan semangat Umat Islam guna mengusir tentara Salib dari
Yerussalem.
Namun demikian, prosesi acara Maulid tidak perlu
dilakukan secara berlebihan, termasuk saat memuji beliau. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda: “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku,
sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam.
Aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah (aku) sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW
bersabda: “Wahai manusia, jauhilah sikap
berlebihan dalam beragama, karena sesungguhnya sikap berlebihan telah
menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan
lainnya.) (Sipe)