Tradisi Maulid Nabi masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Salah satu pelopornya adalah Wali
Songo. Mereka menjadikan
Maulid sebagai sarana menarik simpati masyarakat pribumi agar mengucapkan dua kalimat syahadat (masuk
Islam). Karena itulah acara Maulid disebut Perayaan Syahadatain
(dua kalimat syahadat), yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat syahadat dilambangkan dengan dua
gamelan ciptaan Sunan Kalijaga, Kiai Nogowilogo, dan Kiai Gunturmadu, yang
ditabuh di halaman Masjid Demak. Sebelum menabuh gamelan, orang-orang yang baru
masuk Islam terlebih dulu memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang disebut gapura (diambil dari Bahasa Arab “ghafara”, artinya “Allah mengampuni”).
Setelah itu mereka dipandu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pada masa kesultanan Mataram, perayaan Maulid
Nabi disebut Grebeg Mulud. Grebeg artinya mengikuti, yaitu
mengikuti ulama dan sultan keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti
perayaan Maulid. Tradisi tersebut terus bertahan hingga sekarang.
Pernak-Pernik
Maulid
Kini, Maulid Nabi sudah ditetapkan sebagai
hari libur nasional. Peringatan Maulid dilakukan oleh Pemerintah, organisasi
keagamaan, lembaga pendidikan, majelis ta’lim, masjid, mushalla, hingga
masyarakat kecil di pelosok desa. Berbagai acara digelar, mulai dari pengajian
hingga bakti sosial, mulai dari diskusi hingga ritual bermuatan tradisi lokal.
Dalam tradisi maulid terdapat tiga dimensi yang saling berkelindan; dimensi
keagamaan, dimensi sosial, dan dimensi kebudayaan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, upacara Sekaten warisan Wali Songo tetap dipertahankan.
Sedangkan di Surakarta (Solo), acara Grebeg
Mulud peninggalan Kerajaan Mataram juga dilestarikan.
Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur, yaitu proses pembersihan
barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang). Di
Cirebon terdapat tradisi Panjang Jimat,
yakni acara pembacaan mada'ih nabawiyah,
shalawat ad-Diba'i dan al Barzanji, juga pemberian sedekah dan
makanan khas daerah serta pembukaan pasar kaget dan pertunjukan kebudayaan
lokal.
Di Kalimantan, Maulid Nabi disebut dengan Ba’ayun, yaitu upacara pembacaan do’a
dan shalawat Nabi sambil mengayun anak kecil.
Di Aceh, terdapat tradisi Kanduri Mulod yang dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yaitu Rabiul
Awwal sebagai Mulod Awai, Rabiul
Akhir atau Mulod Teungoh, dan Jumadil
Awwal yang diistilahkan Mulod Akhe.
Sedangkan di Sumatera Barat, setiap tanggal 12 Rabiul Awwal umat Islam berziarah
ke makam Syekh Burhanuddin. Ini merupakan perlambang kecintaan masyarakat kepada ulama yang merupakan
pewaris para Nabi.
Maulid
di Madura
Masyarakat Madura menyebut Peringatan Maulid
dengan “Mulodhan”. Mulodhan dilaksanakan dalam dua sesi.
Sesi pertama disebut Molodhan Agung,
yakni peringatan Maulid secara massal dengan berkumpul di masjid sambil membaca
sejarah nabi, shalawat Diba’i atau Barzanji, dan diakhiri dengan ceramah agama.
Sesi kedua disebut Mulodhan
Kene’, yakni acara Maulid di masing-masing rumah penduduk (termasuk keluarga
termiskin sekalipun). Yang diundang adalah kerabat dan tetangga dekat, dengan
harapan agar rumahnya dikunjungi oleh Rasulullah SAW dan mendapat syafaat di hari kiamat kelak. Masyarakat
percaya bahwa rumah yang dibacakan shalawat akan terbebas dari bahaya, seperti
kebakaran, pencurian, kefakiran, dll.
Selain itu, di beberapa daerah pesisir Pulau
Madura, terdapat tradisi Petik Laut (Sedekah Laut), yang merupakan bagian dari
peringatan Maulid khas pesisir. Tradisi ini mirip upacara larung sekaten di Jogjakarta.
Selain bertujuan mengungkapkan rasa syukur
atas kelahiran Nabi SAW dan ingin mendapat syafaat beliau, peringatan Maulid di
Madura juga merupakan perlambang dari persatuan dalam keragaman. Hal itu
tercermin dari beragam jenis buah-buahan dan makanan yang disuguhkan dalam
acara. Juga sebagai sarana menjalin silaturrahim dan memupuk kebersamaan dengan
mengundang kerabat dan tetangga dekat.
Meskipun akhir-akhir ini tradisi Molodhan Kene’ lebih banyak diadakan
oleh masyarakat kelas menengah
ke atas, namun semiskin-miskinnya orang Madura tak akan pernah meninggalkan
upacara maulid, minimal membacakan shalawat di rumah. Dengan begitu, buncahan kegembiraan menyambut
datangnya Maulid benar-benar lahir dari jiwa yang ingin meneladani akhlak
Rasulullah SAW. (Zbr)