Tradisi Maulid Nabi sudah berjalan sekitar 12 abad. Kaum Muslimin di seluruh dunia memperingati
kelahiran Sang Nabi guna mengenang, mengingat, mengucapkan terima kasih, dan
meneladani kehidupan beliau. Secara umum, ada 4 (empat) periode sejarah Maulid
Nabi dari masa ke masa.
Periode Pertama dan Kedua
Periode pertama dimulai pada masa Khalifah Mu’iz li
Dinillah dari Dinasti Fathimiyyah di Mesir (341 H.). Pada masa itu, peingatan
Maulid hanya ditujukan untuk mendapatkan simpati rakyat, sehingga sempat dilarang oleh penerus
Mu’iz li Dinillah, yaitu Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy.
Kemudian, pada
masa Khalifah Amir li Ahkamillah (tahun 524 H.), perayaan Maulid dihidupkan kembali dan
bertahan hingga masa khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah, al-Adhidh Lidinillah
(567 H/ 1171 M ).
Periode kedua adalah ketika Shalahuddin al-Ayyubi
menguasai Mesir. Pada masa itu, dunia Islam sedang mendapat gelombang serangan dari bangsa Eropa
(Prancis, Jerman, Inggris, Italia), yang dikenal dengan Perang Salib (The Crusade). Umat Islam kehilangan
semangat perjuangan (jihad) dan
persaudaraan (ukhuwah), karena terpecah-belah
dalam banyak kerajaan.
Salahuddin al-Ayyubi ingin sekali membangkitkan semangat umat
Islam. Berbagai cara dilakukan, salah satunya dengan mengembangkan tradisi
Maulid. Sultan
Salahuddin meminta persetujuan Khalifah An-Nashir di
Bagdad, dan khalifah
setuju. Maka pada bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Salahuddin
al-Ayyubi mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar saat kembali ke kampung
halaman masing-masing mengadakan
Maulid Nabi, setiap tanggal 12 Rabiul-Awwal.
Sultan Salahuddin sendiri menyelenggarakan
sayembara penulisan riwayat Nabi tahun 580 H. (1184
M.). Para ulama dan sastrawan diundang mengikuti kompetisi. Pemenangnya adalah Syeikh Ja`far al-Barzanji, yang kitabnya sampai
sekarang masih sering kita baca.
Usaha Salahuddin al-Ayyubi membuahkan hasil. Semangat umat Islam
menghadapi Perang Salib bergelora kembali, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah), Yerusalem dan Masjid
al-Aqsa berhasil direbut dari bangsa Eropa.
Peringatan Maulid Nabi juga digelorakan oleh Gubernur
Muzhaffaruddin Abu Said Qukburi (549 H.
– 630 H.). Peringatan Maulid dijadikan acara resmi kota
Arbil (Irak). Beliau mengundang para ulama, menteri, pegawai, dan rakyat jelata, dalam acara yang dilaksanakan selama 7 hari 7 malam. Gubernur juga menyediakan hidangan 5 ribu kambing guling, 10 ribu ayam, 100 ribu keju, dan 30
ribu piring kue. Biaya yang dikeluarkan sebesar 300 ribu Dinar.
Sementara di
Kota Mosul, Irak, seorang ulama sufi Abu Hafsh Mu’ainuddin Umar bin Muhammad
bin Khidir al-Ibrili al-Mousuli (570 H), mempelopori peringatan Maulid Nabi di kalangan ulama.
Periode Ketiga dan Keempat
Periode ketiga adalah masa dimana para ulama mulai menuliskan kitab-kitab Maulid. Kebiasaan ini berkembang
sejak pertangahan abad ke 7 Hijriyah. Di antara para penulis terkenal adalah Ibn Dahiyyah (w. 633 H), Muhyiddin Ibnul Arabi (w.
638 H), Ibnu Thugharbek (w.670 H), dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad (w.677 H).
Peringatan Maulid terus bertahan hingga Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik (tahun 922 H), di bawah pimpinan Khalifah
Qanshuh al-Ghauri. Satu tahun berikutnya (923 H), ketika Dinasti Turki Utsmani memasuki Mesir, mereka meniadakan peringatan
Maulid. Namun setelah itu muncul kembali dan terus bertahan hingga abad modern.
Periode keempat (abad Millenium), peringatan Maulid
Nabi tetap dilaksanakan oleh banyak Negara,
baik yang berpenduduk
mayoritas Muslim seperti Mesir, Irak,
Iran, Indonesia, ataupun negara yang pemeluk Islamnya bukan mayoritas seperti India, Britania Raya (Inggris dan Irlandia), Rusia, Kanada, hingga
Amerika Serikat. Satu-satunya negara berpenduduk
mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur nasional adalah Arab
Saudi.
Yang perlu dicatat, meskipun para penguasa menggelar
acara Maulid
dengan menyuguhkan hidangan mewah dan
melimpah, namun bagi masyarakat umum hal itu tidak perlu. Di samping
tidak ditelandankan oleh Nabi, juga tidak dibenarkan oleh agama. (Doer/Sipe).