Kamis, 14 Februari 2013

Satu Gantang untuk Dua Bulan



Profil alm. K.H. Ahmad Fauzi Sirran
Satu Gantang untuk Dua Bulan
(Bagian I)

K.H. Ahmad Fauzi Sirran—allâhummaghfirlah—bukan sosok asing bagi kita. Namun siapa sangka, di balik sosok kharismatik ini tersimpan untaian kisah misteri, unik, dan mengagetkan. Sebanyak apa kisah itu? Jawabannya adalah sebanyak orang yang pernah kenal dengan beliau. Masing-masing orang mengoleksi butiran kisah atau pengalaman tersendiri, terutama menyangkut sisi karomah beliau.


Tak ada yang tahu pasti tanggal berapa K.H. Ahmad Fauzi Sirran dilahirkan. Satu-satunya data yang menunjukkan bahwa beliau lahir pada tahun 1933 adalah bahwa beliau menikiah tahun 1955 pada usia 22 tahun. Beliau adalah putra kedua dari lima bersaudara dari pasangan Kiai Sirran dan Nyai Madaniyah (dikenal dengan sebutan Nyai Anom). Dan, bumi Pangambengan adalah saksi bisu kelahiran beliau. Juga masa kecil yang dijalaninya di sana.
Kiai Fauzi kecil mengawali jenjang pendidikannya dari Sekolah Rakyat (SR) di Pakamban. Tapi, hanya sampai kelas dua. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya ke PP. Annuqayah Guluk-Guluk. Hampir bisa dikatakan, beliau mondok tanpa bekal. Bayangkan, satu gantang (3 kg) beras jagung cukup untuk bekal dua bulan lebih. Bukan semata karena faktor ekonomi keluarga yang sulit, tapi juga karena beliau memang suka tirakat.
Lulus Madrasah Ibtida’iyah (MI) dengan predikat mutawassith (cukup), kiai yang ditinggal wafat ayahandanya dalam keadaan yatim ini langsung dipercaya menjadi guru di Annuqayah. Sorenya, beliau mengikuti pendidikan ‘Ulya, tempat beliau menyerap ilmu umum seperti Aljabar dan Ilmu Hayat (Biologi) di bawah didikan K.H. Mahfudh Husaini.
Begitu lulus ‘Ulya, sebuah peristiwa penting terjadi. Oleh Kiai Muhammad Ilyas, pengasuh umum Annuqayah kala itu, Kiai Fauzi dipertunangkan dengan Nyai Maftuhah, salah seorang putri almarhum Kiai Abdullah Sajjad yang masih saudara pengasuh. Bagi beliau, ini benar-benar membingungkan. Menolak pertunangan berarti mengingkari guru. Menerimanya, beliau merasa tidak layak. Sebuah dilema yang kemudian melesakkan kegelisan mendalam. Sungguh, kiai sederhana yang rendah hati ini merasa Annuqayah terlalu besar untuk dirinya.
Setelah berembuk dengan Kiai Abi Syuja’ selaku kakak ipar beliau, dan Haji Abdul Halim selaku Kepala Desa Pakamban, akhirnya Kiai Fauzi meninggalkan bumi Annuqayah untuk mencari bumi lain tempat mendinginkan hati dan memperkaya ilmu. Bumi itu adalah Sidogiri. Beliau berangkat ke pondok pesantren tempat belajar para ulama besar itu tanpa bekal berarti, hanya bermodalkan tekad dan semangat. Selama beberapa waktu di sana beliau hidup mengekang perut.
Kebetulan, saat itu Sidogiri membuka Madrasah Tsananwiyah untuk pertama kali. Entah kenapa, Kiai Fauzi langsung ditunjuk untuk mengampu mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Hayat. Tak bisa menolak, karena penunjukan ini langsung dari pengasuh. Bagi beliau, kalau sudah guru yang memerintahkan, apa pun akan beliau lakukan, “Bahkan disuruh mati sekalipun,” tutur beliau kepada beberapa santrinya.
Sejak mengajar itulah kebutuhan bekal Kiai Fauzi mulai sedikit tercukupi, walaupun jelas bukan ini tujuan beliau. Lebih-lebih setelah seorang santri, anak bupati Sampang, belajar ilmu Aljabar secara privat kepada beliau. Setiap kali anak itu dikirim uang oleh orangtuanya, beliau dikirimi juga. Praktis, dengan begitu, kebutuhan ekonomi beliau terpenuhi. Hanya, untuk kebutuhan membeli kitab yang mahal-mahal, kadang beliau masih berkirim surat ke paman beliau, Kiai Jazuli. Dan, oleh sang paman, surat itu lalu ditunjukkan kepada Haji Idris Pakamban, dan dialah yang kemudian memenuhi keperluan beliau.
Sejak peristiwa itulah, demi menjaga keselamatan dirinya, Kiai Fauzi mulai mencari guru untuk belajar ilmu-ilmu batin.
Begitulah sekelumit kisah pengabdian beliau di Sidogiri, sampai akhirnya dipanggil pulang untuk dinikahkan dengan Nyai Maftuhah. Akad nikah dilangsungkan di Annuqayah. Yang mengakad Kiai Muhammad Ilyas, sedangkan yang menjadi wali adalah Kiai Basyir. Dua tahun beliau menetap di sana, dan dua putra-putri lahir di sana, yaitu Nyai Yusrah, putri pertama yang meninggal dalam usia beberapa bulanan, dan Kiai Nashih sebagai putra kedua. (zb-r/as-r)