Profil alm. K.H. Ahmad Fauzi Sirran
Satu Gantang untuk Dua Bulan
(Bagian I)
K.H. Ahmad Fauzi Sirran—allâhummaghfirlah—bukan sosok
asing bagi kita. Namun siapa sangka, di balik sosok kharismatik ini tersimpan
untaian kisah misteri, unik, dan mengagetkan. Sebanyak apa kisah itu?
Jawabannya adalah sebanyak orang yang pernah kenal dengan beliau. Masing-masing
orang mengoleksi butiran kisah atau pengalaman tersendiri, terutama menyangkut
sisi karomah beliau.
Tak ada yang tahu pasti
tanggal berapa K.H. Ahmad Fauzi Sirran dilahirkan. Satu-satunya data yang
menunjukkan bahwa beliau lahir pada tahun 1933 adalah bahwa beliau menikiah
tahun 1955 pada usia 22 tahun. Beliau adalah putra kedua dari lima bersaudara dari
pasangan Kiai Sirran dan Nyai Madaniyah (dikenal dengan sebutan Nyai Anom). Dan,
bumi Pangambengan adalah saksi bisu kelahiran beliau. Juga masa kecil yang
dijalaninya di sana.
Kiai Fauzi kecil mengawali jenjang
pendidikannya dari Sekolah Rakyat (SR) di Pakamban. Tapi, hanya sampai kelas
dua. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya ke PP. Annuqayah
Guluk-Guluk. Hampir bisa dikatakan, beliau mondok tanpa bekal. Bayangkan, satu
gantang (3 kg) beras jagung cukup untuk bekal dua bulan lebih. Bukan semata
karena faktor ekonomi keluarga yang sulit, tapi juga karena beliau memang suka tirakat.
Lulus Madrasah Ibtida’iyah (MI) dengan predikat
mutawassith (cukup), kiai yang ditinggal wafat ayahandanya dalam keadaan
yatim ini langsung dipercaya menjadi guru di Annuqayah. Sorenya, beliau mengikuti
pendidikan ‘Ulya, tempat beliau menyerap ilmu umum seperti Aljabar dan Ilmu
Hayat (Biologi) di bawah didikan K.H. Mahfudh Husaini.
Begitu lulus ‘Ulya, sebuah peristiwa penting terjadi.
Oleh Kiai Muhammad Ilyas, pengasuh umum Annuqayah kala itu, Kiai Fauzi dipertunangkan
dengan Nyai Maftuhah, salah seorang putri almarhum Kiai Abdullah Sajjad
yang masih saudara pengasuh. Bagi beliau, ini benar-benar membingungkan.
Menolak pertunangan berarti mengingkari guru. Menerimanya, beliau merasa tidak layak.
Sebuah dilema yang kemudian melesakkan kegelisan mendalam. Sungguh, kiai
sederhana yang rendah hati ini merasa Annuqayah terlalu besar untuk dirinya.
Setelah berembuk dengan Kiai Abi Syuja’ selaku
kakak ipar beliau, dan Haji Abdul Halim selaku Kepala Desa Pakamban, akhirnya
Kiai Fauzi meninggalkan bumi Annuqayah untuk mencari bumi lain tempat
mendinginkan hati dan memperkaya ilmu. Bumi itu adalah Sidogiri. Beliau
berangkat ke pondok pesantren tempat belajar para ulama besar itu tanpa bekal berarti,
hanya bermodalkan tekad dan semangat. Selama beberapa waktu di sana beliau
hidup mengekang perut.
Kebetulan, saat itu Sidogiri membuka Madrasah
Tsananwiyah untuk pertama kali. Entah kenapa, Kiai Fauzi langsung ditunjuk
untuk mengampu mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Hayat. Tak bisa menolak, karena
penunjukan ini langsung dari pengasuh. Bagi beliau, kalau sudah guru yang
memerintahkan, apa pun akan beliau lakukan, “Bahkan disuruh mati sekalipun,”
tutur beliau kepada beberapa santrinya.
Sejak mengajar itulah kebutuhan bekal Kiai
Fauzi mulai sedikit tercukupi, walaupun jelas bukan ini tujuan beliau.
Lebih-lebih setelah seorang santri, anak bupati Sampang, belajar ilmu Aljabar
secara privat kepada beliau. Setiap kali anak itu dikirim uang oleh
orangtuanya, beliau dikirimi juga. Praktis, dengan begitu, kebutuhan ekonomi beliau
terpenuhi. Hanya, untuk kebutuhan membeli kitab yang mahal-mahal, kadang beliau
masih berkirim surat ke paman beliau, Kiai Jazuli. Dan, oleh sang paman, surat
itu lalu ditunjukkan kepada Haji Idris Pakamban, dan dialah yang kemudian memenuhi
keperluan beliau.
Sejak peristiwa itulah, demi menjaga keselamatan
dirinya, Kiai Fauzi mulai mencari guru untuk belajar ilmu-ilmu batin.
Begitulah sekelumit kisah pengabdian beliau di
Sidogiri, sampai akhirnya dipanggil pulang untuk dinikahkan dengan Nyai
Maftuhah. Akad nikah dilangsungkan di Annuqayah. Yang mengakad Kiai Muhammad
Ilyas, sedangkan yang menjadi wali adalah Kiai Basyir. Dua tahun beliau menetap
di sana, dan dua putra-putri lahir di sana, yaitu Nyai Yusrah, putri pertama
yang meninggal dalam usia beberapa bulanan, dan Kiai Nashih sebagai putra kedua.
(zb-r/as-r)