Waktu dluha di salah satu sudut kota
Makah. Khadijah tengah bercanda ria bersama sahabat-sahabat ciliknya. Tanpa
diketahui dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang Yahudi dan berhenti
tepat di depan mereka. Sambil tertawa sejadi-jadinya, si Yahudi
berteriak, “Telah tiba masa kedatangan nabi terakhir! Siapa
di antara kalian dapat menjadi istrinya, lakukanlah!”.
Tersentak wanita-wanita
cilik itu mendengar ocehannya. Karena dianggap gila, pria itu dilempari batu sambil dicerca
dan dimaki. Hanya Khadijah yang tak ikut-ikutan.
Bahkan, ia merasa terkesan
dengan kata-kata pria Yahudi itu.
Waktu terus bergulir. Menginjak
usia ke-40, kenangan itu berputar ulang dalam benak putri Khuwailid ini.
Teringat pula ia akan apa yang dikatakan sepupunya, Waraqah ibn Naufal, seorang
monoteis yang teguh menyembah Allah berdasarkan agama Nabi Ibrahim, tekun
membaca Taurat dan Injil, mencela agama kaum Quraisy, dan menjauhkan diri dari
kesenangan duniawi. Khadijah ingat ia pernah berkata bahwa sudah saatnya datang
seorang nabi yang akan menghancurkan berhala-berhala, menyeru manusia menyembah
satu Tuhan, mengajak mereka berbudi luhur dan menghindari perangai buruk. Ia
yakin betul Muhammad lah
nabi itu.
Khadijah telah melihat
sendiri bagaimana kejujuran Muhammad dan segala prilaku luhurnya. Lebih-lebih
sepulang dari menjalankan bisnis perdagangannya di Syria. Bukan hanya laba
melimpah yang membuat dirinya takjub kepada sosok Muhammad, tetapi juga
rangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan
dagang. Rangkaian kisah yang dituturkan Maisarah—yang
sengaja disuruh Khadijah untuk menemani Muhammad ke Syria—tentang beliau
akhirnya memantapkan niat janda beranak dua ini untuk melamar Muhammad.
Gayung bersambut,
Muhammad menerima lamaran wanita berjuluk al-Thâhirah (suci, bersih)
ini. Rumah tangga dibangun. Keduanya hidup bahagia. Bukan semata karena harta
yang melimpah. Tapi juga karena
mereka dikarunia dua orang putra—Qasim dan Abdullah—dan empat orang
putri—Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Sayang, dua putra mereka
meninggal di usia belia.
Ketika sang suami diangkat Allah
sebagai rasul-Nya, Khadijah menjadi wanita pertama yang menyatakan beriman. Ia juga mendampingai suami tercinta, menolong,
dan menguatkan beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan intimidasi kaum
kafir. Ia korbankan jiwa, raga, dan hartanya demi perjuangan suaminya.
Dihadapinya segala risiko dan tantangan yang harus diterima sebagai istri. Pantang
baginya mundur dari garis perjuangan yang sudah digariskan suaminya. Bahkan,
makin hari makin mantap hatinya, makin kokoh imannya. Makin berat ujian, makin sabar
ia menghadapinya. Ia campakkan kesenangan duniawi demi sang suami.
Ketika sang suami diboikot
bersama segenap keluarga Bani Hasyim, Khadijah tak ragu untuk terus maju
mendampingi Rasululllah SAW.
Ia tinggalkan tempat tinggalnya yang paling nyaman untuk diri dan keluarganya,
menuju celah bukit di luar Kota Makkah, tempat mereka dikucilkan. Tak seorang
pun diperbolehkan berhubungan dengan mereka, apalagi untuk mengantarkan makanan
dan pakaian. Tiga tahun mereka terlunta-lunta dalam keadaan yang memprihatinkan. Siang kepanasan,
malam kedinginan. Untuk mengganjal perut,
mereka makan rerumputan dan dedaunan.
Dalam
situasi seperti itu, Khadijah berdiri tegar di tengah-tengah mereka. Sikapnya kokoh
pantang menyerah. Padahal, ia adalah wanita kaya-raya. Hartanya melimpah,
hidupnya sejahtera, dan ia berasal dari keturunan keluarga terhormat yang
sehari pun tak pernah kenal melarat. Fakta inilah yang membuat Nabi berdecak kagum kepada Khadijah.
Pemboikotan
berakhir. Dan, tak lama setelah itu Khadijah meninggal dunia. Rasulullah SAW sedih luar biasa. Segala hal
yang berhubungan dengan Khadijah
menjadi sumber kenangan yang menyiksa, tapi juga
dihormati dan dimuliakan.
Dan,
atas dedikasi Khadijah yang turut memikul tanggung jawab
besar itu, Malaikat Jibril
datang untuk menyampaikan wahyu khusus untuk Khadijah. Katanya kepada Nabi,
“Sampaikan berita gembira kepada Khadijah, ia disediakan sebuah rumah dari
permata di surga. Tak ada kebisingan, tak ada kelelahan di dalamnya.”