Kamis, 14 Februari 2013

Khadijah Disediakan Rumah Permata di Surga

Waktu dluha di salah satu sudut kota Makah. Khadijah tengah bercanda ria bersama sahabat-sahabat ciliknya. Tanpa diketahui dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang Yahudi dan berhenti tepat di depan mereka. Sambil tertawa sejadi-jadinya, si Yahudi berteriak, “Telah tiba masa kedatangan nabi terakhir! Siapa di antara kalian dapat menjadi istrinya, lakukanlah!”.

Tersentak wanita-wanita cilik itu mendengar ocehannya. Karena dianggap gila, pria itu dilempari batu sambil dicerca dan dimaki. Hanya Khadijah yang tak ikut-ikutan. Bahkan, ia merasa terkesan dengan kata-kata pria Yahudi itu.

Waktu terus bergulir. Menginjak usia ke-40, kenangan itu berputar ulang dalam benak putri Khuwailid ini. Teringat pula ia akan apa yang dikatakan sepupunya, Waraqah ibn Naufal, seorang monoteis yang teguh menyembah Allah berdasarkan agama Nabi Ibrahim, tekun membaca Taurat dan Injil, mencela agama kaum Quraisy, dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi. Khadijah ingat ia pernah berkata bahwa sudah saatnya datang seorang nabi yang akan menghancurkan berhala-berhala, menyeru manusia menyembah satu Tuhan, mengajak mereka berbudi luhur dan menghindari perangai buruk. Ia yakin betul Muhammad lah nabi itu.

Khadijah telah melihat sendiri bagaimana kejujuran Muhammad dan segala prilaku luhurnya. Lebih-lebih sepulang dari menjalankan bisnis perdagangannya di Syria. Bukan hanya laba melimpah yang membuat dirinya takjub kepada sosok Muhammad, tetapi juga rangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan dagang. Rangkaian kisah yang dituturkan Maisarah—yang sengaja disuruh Khadijah untuk menemani Muhammad ke Syria—tentang beliau akhirnya memantapkan niat janda beranak dua ini untuk melamar Muhammad.

Gayung bersambut, Muhammad menerima lamaran wanita berjuluk al-Thâhirah (suci, bersih) ini. Rumah tangga dibangun. Keduanya hidup bahagia. Bukan semata karena harta yang melimpah. Tapi juga karena mereka dikarunia dua orang putra—Qasim dan Abdullah—dan empat orang putri—Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Sayang, dua putra mereka meninggal di usia belia.

Ketika sang suami diangkat Allah sebagai rasul-Nya, Khadijah menjadi wanita pertama yang menyatakan beriman.  Ia juga mendampingai suami tercinta, menolong, dan menguatkan beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan intimidasi kaum kafir. Ia korbankan jiwa, raga, dan hartanya demi perjuangan suaminya. Dihadapinya segala risiko dan tantangan yang harus diterima sebagai istri. Pantang baginya mundur dari garis perjuangan yang sudah digariskan suaminya. Bahkan, makin hari makin mantap hatinya, makin kokoh imannya. Makin berat ujian, makin sabar ia menghadapinya. Ia campakkan kesenangan duniawi demi sang suami.

Ketika sang suami diboikot bersama segenap keluarga Bani Hasyim, Khadijah tak ragu untuk terus maju mendampingi Rasululllah SAW. Ia tinggalkan tempat tinggalnya yang paling nyaman untuk diri dan keluarganya, menuju celah bukit di luar Kota Makkah, tempat mereka dikucilkan. Tak seorang pun diperbolehkan berhubungan dengan mereka, apalagi untuk mengantarkan makanan dan pakaian. Tiga tahun mereka terlunta-lunta dalam keadaan yang memprihatinkan. Siang kepanasan, malam kedinginan. Untuk mengganjal perut, mereka makan rerumputan dan dedaunan.

Dalam situasi seperti itu, Khadijah berdiri tegar di tengah-tengah mereka. Sikapnya kokoh pantang menyerah. Padahal, ia adalah wanita kaya-raya. Hartanya melimpah, hidupnya sejahtera, dan ia berasal dari keturunan keluarga terhormat yang sehari pun tak pernah kenal melarat. Fakta inilah yang membuat Nabi berdecak kagum kepada Khadijah.

Pemboikotan berakhir. Dan, tak lama setelah itu Khadijah meninggal dunia. Rasulullah SAW sedih luar biasa. Segala hal yang berhubungan dengan Khadijah menjadi sumber kenangan yang menyiksa, tapi juga dihormati dan dimuliakan.

Dan, atas dedikasi Khadijah yang turut memikul tanggung jawab besar itu, Malaikat Jibril datang untuk menyampaikan wahyu khusus untuk Khadijah. Katanya kepada Nabi, “Sampaikan berita gembira kepada Khadijah, ia disediakan sebuah rumah dari permata di surga. Tak ada kebisingan, tak ada kelelahan di dalamnya.”

Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini, bahwa pengorbanan kaum ibu yang mendukung perjuangan suaminya dalam menegakkan agama Allah, tidak akan pernah sia-sia. Pengorbanan, kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan dalam perjuangan para ibu, akan membuahkan rumah permata di surga, bersama Siti Khadijah. (Syarim)