Banyak pihak
yang mendukung keputusan Munas NU tentang penerapan
hukaman mati bagi koruptor. Akan tetapi, banyak pula yang menolak,
terutama aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka menyatakan bahwa hukuman mati
bertentangan dengan HAM universal.
Menurut Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK), Mahfud MD, HAM tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk membela orang yang sudah
dinyatakan sebagai koruptor oleh pengadilan. Berikut wawancara lengkap dengan
pria kelahiran Sampang, 13 Mei 1957 itu:
Benarkah
hukuman mati itu melanggar HAM?
Kata siapa? MK
sudah memutus itu dengan berbagai model penafsiran, mulai dari tafsir gramatis,
historis atau original intent, sistematis, teleologis, dan sosiologis, yang
kesimpulannya hukuman mati bagi tindak pidana berat itu adalah konstitusional
dan dapat dijadikan isi Undang-Undang (UU) sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945.
Bagaimana
dengan pendapat kalangan aktivis HAM?
Memang ada
yang tidak setuju dengan alasan melanggar HAM. Padahal, menurut konstitusi,
bahkan menurut Tuhan, orang yang melanggar hak asasinya orang lain itu bisa
dijatuhi hukuman mati, sejauh setimpal dengan kejahatannya terhadap manusia
lain.
Sebagian
kalangan juga beralasan, hukuman mati belum tentu membuat jera koruptor?
Menurut saya,
alasan itu lucu. Sebab, bagaimana kita bisa tahu bahwa orang yang sudah mati
itu bisa jera atau tidak jera.
Apa saja
kejahatan yang diancam dengan hukuman mati?
Banyak.
Misalnya kejahatan terorisme yang dijatuhkan kepada Amrozi dan Imam Samudra,
pembunuhan berencana yang dijatuhkan kepada Ryan, begitu juga kejahatan narkoba
yang telah menghukum mati beberapa orang. Korupsi dalam keadaan dan skala
tertentu juga diancam hukuman mati. Itu semua ada UU yang memberlakukannya.
Adalah tidak relevan kalau kita masih mempersoalkan keniscayaan ini.
Berarti Bapak
setuju dengan keputusan Munas NU di Kempek?
Saya setuju
dengan Fatwa Munas NU, karena korupsi bisa dikategorikan sebagai tindakan yang
mengancam keselamatan bangsa dan negara, sama dengan terorisme atau kejahatan
terhadap kelangsungan negara. Yang penting ada pembuktian objektif dengan
sidang-sidang terbuka dan tidak dinegosiasikan. Tak perlu bicara HAM atau hak
konstitusional. Itu sudah selesai dalam filosofi dan konsep hukum kita.
Dalam
konstitusi, Pasal 12 dan Pasal 22 ada ketentuan tentang keadaan bahaya dan
kegentingan bagi negara sehingga pemerintah harus mengambil langkah-langkah khusus
guna menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Nah, salah satu yang mengancam
keselamatan bangsa dan negara adalah korupsi. HAM tidak bisa digunakan untuk
membela orang yang sudah dinyatakan sebagai koruptor oleh pengadilan.
Apakah ada
batasan jumlah korupsi yang bisa dikenai hukuman mati?
Ya, terutama
yang by greed (rakus), itu bisa dihukum mati. Saya setuju dengan fatwa
Munas NU. Pokoknya kalau sudah dinyatakan sebagai koruptor, itu jangan
dibela-bela atas nama HAM. Kalau masih menjadi tersangka atau terdakwa,
bolehlah dibela secara standar yaitu mendapat bantuan hukum sebatas untuk
menjelaskan posisi hukumnya agar adil dan obyektif. Tapi bantuan hukum tak
boleh bertendensi meniadakan atau mengaburkan kasus korupsinya. Kalau sudah
korupsi, ya jangan dipaksa-paksakan untuk dinyatakan tidak korupsi. Kita harus
tegas pada korupsi kalau ingin negara ini selamat.
Sebenarnya apa
persoalan mendasar sehingga korupsi sulit diberantas?
Persoalan
mendasar bagi kita adalah aparat penegak hukum, atau bagian dari struktur
mewarisi mental korup, dan itu juga didukung oleh budaya kolusi melalui proses
negosiasi di luar sidang-sidang resmi, sehingga muncul apa yang disebut mafia
peradilan. Dan itu yang tidak pernah diselesaikan. Kita selalu bicara soal
substansi, tapi tidak pernah bicara soal struktur dan budaya yang sudah
terlanjur tumbuh. Jadi sekarang ini, banyak hakim yang berteriak-teriak mau
memberantas korupsi, (ternyata) tertangkap tangan karena korupsi. Jaksa
tertangkap tangan karena kolusi, sehingga banyak yang digelandang ke
pengadilan. Polisi juga masuk penjara karena korupsi. Sehingga terasa bahwa
pembangunan hukum ini tidak berjalan sampai sekarang.
Jadi
persoalannya bukan pada substansi hukumnya?
Persoalannya
bukan pada isi hukum, tetapi lebih banyak pada aparat penegak hukum dan budaya
hukum. Seperti kita ketahui, menurut teori, pembangunan untuk efektivitas hukum
maupun peradilan itu terdiri dari tiga subsistem, yakni substansi hukum,
struktur atau aparat penegak hukum, dan budaya hukum. Sistem hukum bisa menegakkan
keadilan jika tiga unsur itu bekerja dengan baik.
Di bagian mana
yang perlu dibenahi?
Yang
paling penting menurut saya adalah penataan birokrasi. Karena korupsi di judicial
system itu hulunya di birokrasi yang tidak beres. Birokrasi atau aparatur
pemerintah. Korupsi terjadi di sana. Birokrasi sudah korup, lalu untuk
menyelesaikan di pengadilan memakai cara kolusi, dan akhirnya pengadilannya
korupsi juga. (Sipe)