Kamis, 14 Februari 2013

Koruptor dan Hukuman Mati


Sejak Reformasi 1998, berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Mulai dari pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hingga pembentukan Undang-Undang dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pemberian remunerasi (kenaikan gaji) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tapi, kenyataanya korupsi semakin subur.
Melihat kenyataan ini, para ulama NU merasa sangat prihatin. Tahun 2002, dalam Musyawarah Nasional tahun 2002 di Pondok Gede, Jakarta Timur, NU mengeluarkan dua keputusan penting. Pertama, mendukung hukuman mati bagi koruptor. Ke­dua, para ulama, kiai NU, dan tokoh-tokoh NU tidak perlu men­­shalatkan jenazah koruptor. Hal itu dipertegas lagi pada tahun 2009, dalam pertemuan pimpinan PBNU dan pengurus PP Muhammadiyah.
Kemudian pada September 2010, tim PBNU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan tim Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan menerbitkan buku berjudul: “Koruptor Itu Kafir” (Mizan, Bandung). Terakhir, pada Ahad (16/09/2012), Munas NU di Pesantren Kempek Cirebon mengeluarkan keputusan: koruptor boleh dihukum mati.

Perdebatan di Munas NU
Seruan hukuman mati terhadap koruptor diputuskan dalam sidang Komisi A (Komisi Bahtsul Masa’il Ad-Diniyyah Al-Waqiyyah). Terjadi perdebatan sengit antara kelompok yang mendukung hukuman mati tanpa syarat, dengan kelompok yang menolak hukuman mati, atau kalaupun ada hukuman mati harus disertai syarat tertentu.
Kelompok yang mendukung hukuman mati mendasarkan pada pandangan mazhab Maliki dan Hanafi, sedangkan yang menolaknya berdasarkan pandangan mazhab Syafii.
Keputusannya, komisi A mengambil jalan tengah. ”Hukuman mati boleh diterapkan setelah pengadilan mempertimbangkan pelanggarannya, baik dari jumlah uang yang dikorupsi maupun dari seberapa sering pelanggaran itu dilakukan,” kata KH. Saifuddin Amsir, Ketua Komisi A.
Artinya, NU merekomendasikan hukuman mati sebagai opsi terakhir bagi koruptor, yakni ketika ia tidak jera setelah menerima hukuman penjara dan masih mengulangi perbuatannya. Hukuman mati dapat diterapkan jika si koruptor telah menjadikan korupsi sebagai profesi dan tidak ada keinginan untuk bertobat. (Sipe)