Sejak Reformasi 1998, berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas
korupsi di Indonesia. Mulai dari pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi
Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), hingga pembentukan Undang-Undang dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) dan pemberian remunerasi (kenaikan gaji) bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Tapi, kenyataanya korupsi semakin subur.
Melihat kenyataan ini, para ulama NU merasa sangat prihatin. Tahun 2002,
dalam Musyawarah Nasional tahun 2002 di Pondok Gede, Jakarta Timur, NU
mengeluarkan dua keputusan penting. Pertama, mendukung hukuman mati bagi
koruptor. Kedua, para ulama, kiai NU, dan tokoh-tokoh NU tidak perlu
menshalatkan jenazah koruptor. Hal itu dipertegas lagi pada tahun 2009, dalam
pertemuan pimpinan PBNU dan pengurus PP Muhammadiyah.
Kemudian pada September 2010, tim PBNU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan
tim Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan menerbitkan buku berjudul: “Koruptor
Itu Kafir” (Mizan, Bandung). Terakhir, pada Ahad (16/09/2012), Munas NU di
Pesantren Kempek Cirebon mengeluarkan keputusan: koruptor boleh dihukum mati.
Perdebatan di Munas NU
Seruan hukuman mati terhadap koruptor diputuskan dalam sidang Komisi A
(Komisi Bahtsul Masa’il Ad-Diniyyah Al-Waqiyyah). Terjadi perdebatan sengit
antara kelompok yang mendukung hukuman mati tanpa syarat, dengan kelompok yang
menolak hukuman mati, atau kalaupun ada hukuman mati harus disertai syarat
tertentu.
Kelompok yang mendukung hukuman mati mendasarkan pada pandangan mazhab
Maliki dan Hanafi, sedangkan yang menolaknya berdasarkan pandangan mazhab
Syafii.
Keputusannya, komisi A mengambil jalan tengah. ”Hukuman mati boleh
diterapkan setelah pengadilan mempertimbangkan pelanggarannya, baik dari jumlah
uang yang dikorupsi maupun dari seberapa sering pelanggaran itu dilakukan,”
kata KH. Saifuddin Amsir, Ketua Komisi A.
Artinya,
NU merekomendasikan hukuman mati sebagai opsi terakhir bagi koruptor, yakni
ketika ia tidak jera setelah menerima hukuman penjara dan masih mengulangi
perbuatannya. Hukuman mati dapat diterapkan jika si koruptor telah menjadikan
korupsi sebagai profesi dan tidak ada keinginan untuk bertobat. (Sipe)