Kamis, 14 Februari 2013

Menghadirkan Tuhan dalam Kehidupan


Judul Buku       : Lantai-Lantai Kota 
Penulis            : Muhammad Zuhri 
Penerbit          : Zaman, Jakarta 
Cetakan I        : 2012
Tebal              : 233 halaman 
Peresensi         : Asy’ari Khatib* 


Apa yang terbetik di benak kita saat mendengar kata sufi? Mungkin segera terlintas sosok manusia berpenampilan tak hirau, hidup di bukit atau di hutan, atau mengurung diri di rumah dengan aktivitas utama berzikir dan bershalat. Citra seperti ini biasanya dibentuk oleh apa yang kita rekam dari sejarah hidup para sufi tempo dulu. Dan, tentu saja itu bukan citra yang salah. Citra yang kemudian mengandaikan sebuah konsep bahwa untuk menjadi sufi orang harus menempuh ritual dan jalan baku, linier, dan saklek. Tasawuf menjadi dingin, terasing, tak tersentuh, dan tercerabut dari interaksi sosial.
Muhammad Zuhri, yang disebut Emha Ainun Najib sebagai orang yang memahami tasawuf secara mendalam, lewat buku kelimanya, Lantai-Lantai Kota, ini mencoba menghadirkan tasawuf dalam setiap denyut aktivitas sehari-hari. Tuhan dihadirkan sebagai ‘sosok’ yang hidup bersama kita. “Saat sendirian aku bersama Allah dalam renungan dan shalat. Saat membaur dalam masyarakat aku bersama-Nya dalam hubungan dilogis. Yang pertama untuk menggapai surgaku di akhirat, dan yang kedua untuk menikmati surgaku di dunia (hal. 144).  
Ketika seorang anak muda menghadap Guru Dillah—tokoh representatif  yang menyuarakan gagasan beliau dalam buku ini—dan menyatakan maksudnya untuk berkhalwat seperti dilakukan gurunya, Muhammad, di gua Hira, Guru Dillah menjawab, “Kamu jangan aneh-aneh.  Jika kamu meniru perilaku gurumu, kamu tak kan jadi orang. Tapi, jika kamu taat mengikuti perintah dan ajarannya, kamu akan meraih apa yang kamu inginkan (hal. 76).”
Itulah wajah tasawuf yang dihadirkan Kang Muh—panggilan akrab Muhammad Zuhri. Tasawuf yang berusaha mengenal dan merasakan lebih dekat kehadiran Tuhan dalam peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Sehingga, dengan demikian, setiap peristiwa yang terjadi dan dialami oleh manusia tidak menciptakan ketegangan, tetapi menjadi simponi yang menakjubkan.
Bagi Kang Muh, berikhtiar adalah sebentuk jalan yang mesti ditempuh. Berikhtiar tidak mengharuskan seseorang sampai kepada target yang dituju. Yang penting, lakukan ikhtiar itu karena Allah dan berbuat baik kepada makhluk Allah. Jika dilakukan seperti ini, ikhtiar akan menjadi sebuah pengabdian, dan setiap pengabdian bersentuhan dengan Tuhan serta membuahkan keberuntungan.
Berangkat dari satu pandangan dasar—bahwa untuk menemukan Allah, berdialog dengan-Nya, lalu pada akhirnya mendapat ridha-Nya, kita mesti menyambut kehadiran-Nya di tengah-tengah lingkungan dan masyarakat, serta menjalankan semua urusan-Nya untuk kemaslahatan umat—buku ini bergerak halus dan menyusup ke relung batin kita, menyentak kesadaran kita, menciptakan nuansa religius nan sakral, mengaduk spiritualitas kita, lalu mengantarkan kita ke sebuah momen ekstase ketuhanan yang hangat dan sumringah. Sebuah momen yang tak harus dirasakan saat mengucil di gua atau pendapa, tapi juga dapat dinikmati dalam pergulatan hidup di tengah hingar-bingar berbaur dengan mansusia.
Buku ini sarat dengan kejutan, dan sering menjungkir balik konsep keagamaan yang selama ini sudah kita anggap mapan. Menggugat apa yang dipandang tidak tepat—setidaknya dalam visi moral dan ketuhanan yang diyakini Kang Muh. Misalnya, ketika seorang suami mengeluhkan istrinya yang bakat berbelanja, dan ia berniat menceraikannya, Kang Muh menjawab, “Kamu yang gagal mengurus istrimu, tapi malah dia yang akan kamu ekskusi.”
Buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin memekarkan kuntum-kuntum bunga kesadarannya tentang hakikat hidup. Siapa pun yang ingin merasakan kehadiran Tuhan lebih dekat dan berinteraksi dengan-Nya secara lebih akrab dan hangat, dengan tetap menjalankan tugas dan aktivitas. “Membaurlah dengan lingkunganmu di dalam mencari rezeki dan taatilah aturannya.. Membaurlah dengan lingkunganmu dalam menambah ilmu dan ikuti disiplinnya.. Membaurlah dengan yang lain dalam menjaga batas perbuatan.. Membaurlah dengan yang lain dalam mengangkat beban bersama.. Membaurlah dengan yang lain dalam menyempurnakan diri..” (136).
*Asy’ari Khatib, Redaktur Pelaksana Buletin Khidmah, beralamat di: asyarikhatib@yahoo.com