Kamis, 14 Februari 2013

Di Balik Jeruji


Oleh Mahmudah Imam

Kupanggil dia Cinta; anugerah terindah yang selalu mengikat perasaanku. Di setiap tatapannya, ada rona cemburu yang tak kutahu untuk siapa. Ada resah dalam kalimat-kalimat bisu yang disuarakan. Ada amarah, juga benci, yang belum kupahami karena apa. Setelah itu, selalu ada sedu-sedan, bahkan senyum yang begitu rekah di balik keayuan wajahnya.
Hari ini, kulihat dia meringkuk di sudut sel. Selendang yang menutupi wajahnya sudah begitu kumal. Semua yang terlihat seolah ingin membuktikan betapa lama dia mendekam di sana: di dalam penjara. Dia memang ditempatkan terpisah dari tahanan lain, karena terganggu kejiwaan dan menjadi bulan-bulanan teman-teman sekamarnya.
Bergegas aku menghampirinya.
“Cinta… !”
Kusentuh lengannya. Teramat berat kuungkapkan kata. Rasa sakit yang begitu hebat dan kerinduan yang teramat dahsyat mengalirkan rasa hangat di kedua mataku. Betapa aku ingin mendekapnya. Begitu rindu aku dengan suaranya.
“Firman…! Kau sudah datang?”
Suara merdu itu seperti membangunkan aku dari keharuan. Aku terpana, tak percaya.
“Kau rindu ibu,” bibirnya bergetar sembari menggapaiku yang jatuh di pangkuannya. Aku terkulai, seperti mimpi dihujani ribuan bayangan. Benarkah yang kudengar ini suara ibu yang pernah raib dalam kebisuan. Yang pernah melupakanku dalam gelap dan terang?
“Ya, Cinta! Ini aku,” ucapku terbata, berusaha memercayai dilema yang kuhadapi kini.
“Maafkan Ibu ya, Nak! Terlalu lama Ibu melupakanmu. Panggillah aku ibu! Ibu tahu ibu salah. Ibu khilaf.”
Tangis ibu pecah memenuhi ruang penjara. Jemarinya yang lembut begitu halus menyentuh rambutku, tak kuasa aku berkata. Semua yang kulihat dan kurasa seperti menyeretku pada bingkai kenangan yang telah memenjarakan pengabdian dan kesetiaan ibu. Kesetiaan yang sempat mematikan harapanku dan menjauhkan aku dari kesadarannya tentang aku: anaknya. Semua karena cinta. Ya, cinta.
***
Ibu adalah wanita terhebat dalam pandanganku. Pribadi yang begitu bersahaja.  Cerdas dan tak pernah berkeluh kesah. Sementara, ayahku seorang yang berjiwa besar, rajin, dan pantang menyerah. Di mataku, mereka berdua sosok panutan yang begitu harmonis. Satu sama lain saling memanggil “Cinta”. Kami sangat bahagia. Sampai, ketika karier ayah menanjak dan mencapai pincak kesuksesan, prahara itu datang.
Waktu itu umurku baru sepuluh tahun. Entah siapa yang memulai, pertengkaran kecil sering terjadi. Muncul berita bahwa ayahku bandar narkoba. Tragis dan menyakitkan buat ibu, sementara aku belum mengerti apa-apa. Setiap saat kami menerima cibiran dan pandangan sinis orang sekitar. Seolah-olah kami terpidana yang layak berada di tiang gantungan.
Sebetulnya ayah sudah berusaha meyakinkan ibu, membangkitkan semangatnya, dan memintanya bersabar. “Ini ujian buat kita, Bu!” jelas ayah.
Tapi tangis dan kesedihan ibu sudah membakar kesucian jiwanya. Hari itu, 29 Desember 2007. Ketika aku bangun pagi, kulihat ibu memotong sayuran di meja dapur. Tangannya yang cekatan mengiris wortel sebiji demi sebiji. Air matanya mengalir amat deras.
“Pembohong! Pendusta! Keterlaluan!” Suara ibu mengisak. Kulihat ayah mendekati ibu. Dan tiba-tiba...
“Cintaa..! Awas Tanganmu..!” Ayah berteriak begitu kerasnya. Ibu terkejut. Rupanya pisau di tangan ibu tak lagi mengiris sayuran tapi melukai jari-jarinya. Refleks ibu melempar pisau dari tangan. Tapi, masya Allah! Lemparan pisau ibu tepat mengenai urat nadi di lengan ayah. Dalam sekejap ayah limbung dan jatuh bersimbah darah. Ibu meraung-raung histeris mendekap ayah.
“Maafkan aku, Cinta! Bukan maksudku.... Jangan pergi, Cinta! Jangaaan.. !”
Teriakan histeris ibu disambut dengan erangan ayah dan hembusan nafas yang kian lemah. Bibir ayah yang kian merapat lalu mengatup untuk selama-lamanya. Aku hanya bisa menangis. Tidak mengerti apa yang terjadi. Yang kurasakan hanya takut. Lebih-lebih ketika seorang lelaki memborgol tangan dan menyeret tubuh lemah ibu. Sorot matanya kosong, mulutnya terkunci. Bahkan, ingatan ibu pun jadi terkunci lama sekali, dan baru terbuka lagi hari ini.
“ Firman! Kamu ingat sekarang tanggal berapa, Nak?” Suara ibu tiba-tiba memecah kesunyian. Aku menggeleng.
“29 Desember, Nak! Hari kelahiranmu sekaligus kepergian ayahmu.”
Kembali ibu terisak. Kugenggam jemari ibu. Aku harus kuat. Lima belas tahun kini  usiaku. Sudah saatnya aku memendam tangis dan menerbitkan senyum ibu. Senyum yang yang akan mengantarku dengan doa-doa dan menjadikanku laki-laki dewasa untuk menantang hari esok.
Pakamban Laok, 29 Nopember 2012