Oleh Mahmudah Imam
Kupanggil dia Cinta; anugerah terindah yang selalu mengikat perasaanku.
Di setiap tatapannya,
ada rona cemburu yang tak kutahu untuk siapa. Ada resah dalam kalimat-kalimat
bisu yang disuarakan. Ada amarah, juga benci, yang belum kupahami karena apa. Setelah itu, selalu ada sedu-sedan,
bahkan senyum yang begitu rekah di balik keayuan wajahnya.
Hari ini, kulihat dia meringkuk di sudut sel.
Selendang yang menutupi wajahnya sudah begitu kumal. Semua yang terlihat seolah
ingin membuktikan betapa lama dia mendekam di sana: di dalam penjara. Dia memang
ditempatkan terpisah dari tahanan lain, karena terganggu kejiwaan dan menjadi
bulan-bulanan
teman-teman sekamarnya.
Bergegas aku menghampirinya.
“Cinta… !”
Kusentuh lengannya. Teramat berat kuungkapkan
kata. Rasa sakit yang begitu hebat dan kerinduan yang teramat dahsyat mengalirkan
rasa hangat di kedua mataku. Betapa aku ingin mendekapnya. Begitu rindu aku dengan
suaranya.
“Firman…! Kau sudah datang?”
Suara merdu itu seperti membangunkan aku dari keharuan. Aku terpana, tak percaya.
“Kau rindu ibu,” bibirnya bergetar sembari menggapaiku
yang jatuh di pangkuannya. Aku terkulai, seperti mimpi dihujani ribuan bayangan.
Benarkah yang kudengar ini suara ibu yang pernah raib dalam kebisuan. Yang
pernah melupakanku dalam gelap dan terang?
“Ya, Cinta! Ini aku,” ucapku terbata, berusaha
memercayai dilema yang kuhadapi kini.
“Maafkan Ibu ya, Nak! Terlalu lama Ibu melupakanmu.
Panggillah aku ibu! Ibu tahu ibu salah. Ibu khilaf.”
Tangis ibu pecah memenuhi ruang penjara. Jemarinya
yang lembut begitu halus menyentuh rambutku, tak kuasa aku berkata. Semua yang
kulihat dan kurasa seperti menyeretku pada bingkai kenangan yang telah memenjarakan
pengabdian dan kesetiaan ibu. Kesetiaan yang sempat mematikan harapanku dan menjauhkan
aku dari kesadarannya tentang aku: anaknya. Semua karena cinta. Ya, cinta.
***
Ibu adalah wanita terhebat dalam pandanganku. Pribadi
yang begitu bersahaja. Cerdas dan tak pernah
berkeluh kesah. Sementara, ayahku seorang yang berjiwa besar, rajin, dan pantang
menyerah. Di mataku,
mereka berdua sosok panutan yang begitu harmonis. Satu sama lain saling
memanggil “Cinta”. Kami sangat bahagia. Sampai, ketika karier ayah menanjak dan
mencapai pincak kesuksesan, prahara itu datang.
Waktu itu umurku baru sepuluh tahun. Entah siapa
yang memulai, pertengkaran kecil sering terjadi. Muncul berita bahwa ayahku bandar
narkoba. Tragis dan menyakitkan buat ibu, sementara aku belum mengerti apa-apa.
Setiap saat kami menerima cibiran dan pandangan sinis orang sekitar. Seolah-olah
kami terpidana yang layak berada di tiang gantungan.
Sebetulnya ayah sudah berusaha meyakinkan ibu, membangkitkan
semangatnya, dan memintanya bersabar. “Ini ujian buat kita, Bu!” jelas ayah.
Tapi tangis dan kesedihan ibu sudah membakar kesucian
jiwanya. Hari itu,
29 Desember 2007. Ketika aku bangun pagi, kulihat ibu memotong
sayuran di meja dapur. Tangannya yang cekatan mengiris wortel sebiji demi
sebiji. Air matanya mengalir amat deras.
“Pembohong! Pendusta! Keterlaluan!” Suara ibu mengisak.
Kulihat ayah mendekati ibu. Dan tiba-tiba...
“Cintaa..! Awas Tanganmu..!” Ayah berteriak begitu
kerasnya. Ibu terkejut. Rupanya pisau di tangan ibu tak lagi mengiris sayuran tapi
melukai jari-jarinya. Refleks ibu melempar pisau dari tangan. Tapi, masya Allah!
Lemparan pisau ibu tepat mengenai urat nadi di lengan ayah. Dalam sekejap ayah
limbung dan jatuh bersimbah darah. Ibu meraung-raung histeris mendekap ayah.
“Maafkan aku, Cinta! Bukan maksudku.... Jangan pergi, Cinta!
Jangaaan.. !”
Teriakan histeris ibu disambut dengan erangan
ayah dan hembusan nafas yang kian lemah. Bibir ayah yang kian merapat lalu
mengatup untuk selama-lamanya. Aku hanya bisa menangis. Tidak mengerti apa yang
terjadi. Yang kurasakan hanya takut. Lebih-lebih ketika seorang lelaki
memborgol tangan dan menyeret tubuh lemah ibu. Sorot matanya kosong, mulutnya
terkunci. Bahkan, ingatan ibu pun jadi terkunci lama sekali, dan baru terbuka
lagi hari ini.
“ Firman! Kamu ingat sekarang tanggal berapa, Nak?”
Suara ibu tiba-tiba memecah kesunyian. Aku menggeleng.
“29 Desember, Nak! Hari kelahiranmu sekaligus
kepergian ayahmu.”
Kembali ibu terisak. Kugenggam jemari ibu. Aku harus
kuat. Lima belas tahun kini usiaku. Sudah
saatnya aku memendam tangis dan menerbitkan senyum ibu. Senyum yang yang akan mengantarku
dengan doa-doa dan menjadikanku laki-laki dewasa untuk menantang hari esok.
Pakamban Laok,
29 Nopember 2012