Cerdas Intelektual, Emosional, dan Spiritual
Berawal dari sebuah surau kecil dari bambu (gedek), tempat Kiai Asrawi (w. 1957) mengajari
santri-santrinya mengaji al-Qur’an. Karena tidak mempunyai keturunan, maka setelah
ditinggal wafat oleh beliau, kegiatan di surau ini menjadi
vakum. Tidak ada yang meneruskan. Ini berlangsung dalam rentang waktu tiga
tahun. Sampai akhirnya masyarakat mendesak Kiai
Musyaffa’ selaku keponakan Kiai
Asrawi untuk meneruskan amanah mengajar ngaji dan membuka hati umat.
Awalnya,
permintaan ini ditolak oleh Kiai
Musyaffa`,
dengan alasan umur beliau masih muda dan
masih berstatus sebagai santri di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk.
Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1960,
atas dasar pertimbangan pihak keluarga dan desakan masyarakat, Kiai Musyaffa’
menyatakan bersedia untuk meneruskan perjuangan almarhum Kiai Asrawi. Sejak
saat itulah santri berdatangan untuk belajar mengaji al-Qur’an dan kitab
kuning.
***
Dari tahun ke tahun, jumlah santri terus meningkat sedangkan fasilitas sangat terbatas. Karena itu,
keluarga pesantren lalu berembuk
dengan masyarakat untuk membuat pondok sebagai tempat tinggal. Masyarakat sangat setuju, sehingga sejak
saat itulah Pondok Pesantren Darul
Ihsan berdiri sebagai lembaga harapan umat.
Di samping berfungsi sebagai lembaga pendidikan, PP. Darul Ihsan juga bergerak di
bidang dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar. Kepada santri-santrinya, Kiai Musyaffa’ menanamkan sikap
peka dan peduli terhadap persoalan-persoalan sosial. Sebab, bagi beliau, tugas
santri bukan semata membaca ajaran Islam secara tekstual, tetapi juga bagaimana
menerapkannya secara kongkrit dalam kehidupan
sehari-hari. “Kerja lebih berharga dibanding wacana,”
ungkapnya.
Saat ini, PP. Darul Ihsan sudah memiliki
lembaga pendidikan dari jenjang Raudhatul Athfal (RA) Al-Ihsan III/A (2000),
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Ihsan III/A (1960), Madrasah Tsanawiyah (MTs) Darul
Ihsan (1994), hingga Madrasah Aliyah (MA) Darul Ihsan (2002). Jenjang-jenjang pendidikan
ditargetkan dapat menanamkan prinsip-prinsip kehidupan yang kokoh berlandaskan keimanan,
ketakwaan, dan akhlak luhur. Juga berwawasan luas, cakap, terampil, kreatif,
serta memiliki etos kerja dan tanggung jawab sosial. “Pokoknya santri harus
serba bisa,’’ imbuhanya.
Dalam melaksanakan tugas kepesantrenan, Kiai Mushaffa dibantu oleh dua
putranya, jebolan Pondok Pesantren Al
Ihsan Jaddung, yaitu Kiai M. Helmi, S.Pd. dan Kiai Abd Halim, S.Ag. MM. Dalam waktu relatif
singkat, pondok
pesantren yang kini menampung
kurang lebih 500 orang santri putra-putri ini bisa dikatakan berkembang secara
signifikan. Ini diakui Kiai
Musyaffa’ sebagai buah manis dari upaya maksimal dan kekompakan kolektif antar
pengelola dan antar asatidz (dewan guru).
Untuk mengembangkan beragam bentuk keahlian
santri, kini PP. Darul
Ihsan melakukan langkah-langkah teroboson. Mulai
dari Program Pondok Sepekan, Lomba Pentas Ekspresi
(LPE) setengah tahunan, Bulan Berprestasi, Lembaga Pengembangan Bahasa Arab
Darul Ihsan (LPBAD), Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Darul Ihsan English Club (DEC), Forum Kajian Darul
Ihsan (FKDI), dan Festival Karya Tulis Darul Ihsan (FKTDI). Untuk meningkatkan
kepekaan dan keterampilan santri,
dibentuklah Persaudaraan Setia Hati (PSHT) dan Pramuka.
“Alhamdulillah, Pramuka Darul Ihsan berhasil
meraih prestasi, dari tingkat lokal, regional, hingga nasional. Pernah menjadi
juara 1 Lomba LT III se-Kabupaten Sumenep, juara favorit lomba Sanggar Pallawa
Tingkat jawaTimur di Blitar, delegasi Kabupaten Sumenep dalam LT IV di
Pasuruan, serta delegasi Kabupaten Sumenep dalam Jambore Nasional (JAMNAS) di
Teluk Gelam Palembang,” papar Hefni Yas Roheim, salah seorang guru di sana.
Dengan demikian, eksistensi Darul Ihsan sebagai
garda pembinaan umat semakin memperoleh apresiasi dari masyarakat. “Semua ini
berkat kerja keras dan sikap pengertian serta kebersamaan dari semua pihak.
Kami akan berupaya lebih maksimal dan membuat langkah-langkah inovatif ke
depan,” tutur Kiai
Musyaffa’ menutup perbincangan. (hy-r)